Konsep Aswaja Dalam BerPMII
Ahlussunah wal jamaah atau yang sering kita kenal dengan aswaja. Sebuah aliran yang memiliki pemahaman Teologis islam. Jadi saya akan menjabarkan sedikit mengenai konsep Aswaja dalam berPMII. Dalam PMII sendiri sebenarnya juga sudah dijelaskan dalam mukaddimah anggaran dasar PMII pada alenia keempat, Bahwasannya aswaja sebagai haluan organisasi. Saya akan menjelaskan tiga konsep Aswaja dalam berPMII.
- Aswaja sebagai konsep Teologis
(Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli. Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik. Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).
- Aswaja sebagai konsep Berfikir
Aswaja dihadapkan dengan dunia modern yang penuh dengan rambu-rambu agama. Aswaja datang dengan penuh spirit kebangkitan sekaligus mampu menjawab polemik keagamaan yang sekarang tengah datang dengan cepat tanpa memandang agama apapun. Aswaja selalu bisa beradaptasi dalam segala benturan zaman maupun kondisi. Itulah salah satu prinsip dan watak aswaja.
Posisi tawassut atau moderat tentu bukanlah hal yang final bahkan harga mati tetapi jalan tengah ini –moderat- bisa diibaratkan dengan titik tengah biji kelereng yang bulat. Makin besar bulatannya, titik tengahnya pun kian besar pula. Demikikian pula konsep moderat tersebut, makin berkembang daya jangkuannya dan potensinya mengikuti arus zaman.
Untuk dapat merealisasikan gagasan Islam Rahmat seluruh alam, maka dipandang perlu Aswaja menggunakan 4 komponen dasar yang selama ini diadopsi seluruh ummat Islam Indonesia. Di sisi lain, 4 komponen inilah menjembatani keadaan yang terus mengalami metamorfosis dan pastinya keadaan selalu terus berbeda dan perlu konsep tegas, transformatif, inovatif dan mampu menjadi jalan tengah dalam menjawab problematika dimensi sosial kemasyarakatan. Di antaranya :
- Tawassuth
Tawassuth berasal dari kata Wasatho artinya tengah. Hal ini berarti dalam memahami segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman dengan nilai-nilai kemoderatan. Nilai kemoderatan inilah nantinya membawa pemahaman menuju Islam yang benar tanpa harus mengklaim saudara-saudaranya kafir, murtad dan sejenisnya hanya semata-mata tidak setuju dengan apa yang diusungnya. Tawassut merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan menggali dan meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam dan Barat serta mendialogkan dengan agama, filsafat dan sains.
- Tawazzun
Tawazun mempunyai makna seimbang. Hal ini berarti setiap jengkal langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam pemecahan setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan dengan Allah, seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, seimbang dalam menjalin hubungan dengan alam. Dengan sikap seimbang inilah nantinya akan menemukan esensi Islam yang sebenarnya. Dalam konteks tawazzun ini bisa di implementasikan ke dalam ranah negara dan bangsa. Bagaimana kita bergaul dan berhubungan dengan individu, masyarakat dengan masyarakat, negara dengan rakyatnya maupun manusia dengan alam
- Tasamuh
Tasamuh mempunyai makna toleransi. Artinya, Allah telah menciptakan manusia bermacam-macam suku, agama, ras sehingga dalam menyikapi persoalan kita senantiasa menggunakan prinsip toleransi. Dengan menggunakan prinsip inilah kita mampu memahami perbedaan sebagai Sunnatullah dan tidak terpecah belah dalam perbedaan. Yakinlah bahwa menghormati terhadap perbedaan terhadap sesama manusia walaupun berbeda agama tidak akan berdosa dan yakinlah bahwa mengejek, menghina dan mengucilkan manusia walaupun itu non Islam tetaplah berdosa. Dan dalam point ini cenderung untuk mengedepankan sifat pluralis dalam beragama.
- Ta’adul
Ta’adul akar kata dari lafad Adala yang mempunyai arti adil, bersifat adil, tidak memihak. Dalam kehidupan bermasyarakat pastilah banyak problematika menghadang meskipun besar dan kecil. Dengan masalah itulah, bagaimana pijakan gerakan kita mampu mencerminkan sifat adil tanpa harus membela tangan kanan maupun tangan kiri. Setiap pemikiran, gerakan, moral bahkan kebijakan sekalipun harus mengedepankan sifat adil di berbagai aspek kehidupan maupun negara. Aspek sosial, negara, syariah, ekonomi, budaya, pendidikan dan hal lainnya harus disikapi dengan fikiran jernih –adil- sehingga mampu mengembangkan sayap nilai Islam menuju nilai peradaban tinggi dan unggul dalam mengikuti zaman.
Empat komponen di atas haruslah berjalan bersamaan dan haram hukumnya jika hanya menggunakan salah satu komponen belaka. Kalau pun demikian, pastilah output yang dihasilkan akan miring, tidak seimbang dan berat sebelah dalam menyikap masalah keagamaan dan kehidupan yang amat sangat kompleks sekalipun. Dengan menggunakan pendekatan di ataslah.
- Aswaja sebagai metode bergeraknya PMII
Aswaja Manhajl Harakah atau Aswaja sebagai metode bergeraknya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), adalah sebuah landasan bergeraknya PMII dengan tiga rumusan metode.
Pertama, tathowuriyah (elastis). Elastis bukan berarti masuk kelompok sana masuk kelompok sini demi kepentingan pribadi. Namun elastis di sini pola gerakan yang dijadikan landasan PMII adalah bisa menerima perkembangan zaman. Karena ada atau tidaknya suatu hukum itu berevolusi menurut ilatnya, al hukmu yadurru ma’a ilatihi wujudan wa adaman.
Jumud terhadap perkembangan zaman adalah salah satu sebab kemundurannya umat muslim. Begitulah menurut Amir Syakib Arsalan dalam bukunya Limadza taakhara al muslimun walimadza taqoddama ghoiruhum.
Kedua, ishlahiyah (perbaikan) semua gerakan yang dilakukan oleh PMII. Baik itu gerakan menyuarakan pendapat, atau turun jalanan, semuanya tetap harus mengarah ke perbaikan. Kebaikan yang dimaksud di sini adalah kebaikan yang mu’tabarah. Maksudnya kebaikan yang dipandang baik oleh seseorang juga dipandang baik oleh agama.
Dalam tindakannya, perbaikan ini tidak bisa berdiri sendiri, perlu disiplin ilmu logika, etika dan estetika yang menopangnya. Logika berbicara mengenai benar dan salah, etika berbicara mengenai baik dan buruk dan estetika berbicara mengenai keindahan.
Semua gerakan ishlahiyah yang menuju kepada perbaikan yang mu’tabarah harus dengan pola logika yang benar, etika yang baik dan mengindahkan. Jangan sampai, karena merasa benar akhirnya bertindak semena mena. Karena mustahil hasil yang baik akan diraih dengan cara yang buruk.
Ketiga, manhajiyah (berlandasan), gerakan tanpa landasan itu kosong. Sementara landasan tanpa gerakan itu bohong. Artinya, gerakan adalah implementasi dari hasil kajian yang mendalam dan penelitian yang matang. Jangan sampai gerakan yang ada hanya memperkeruh suasana, tanpa landasan yang jelas.
Di sinilah Aswaja Manhajl Fiqr (Aswaja Metode berpikir) diperlukan, Mulai dari pemikiran yang Tawasut (moderat), tawazun (pertimbangan).
Lalu ta’adul (proporsional) dan tassamuh (toleran). Jika semua konsep ini dipakai, niscaya gerakannya akan terlihat soft, terarah dan sistematis.
Alhasil, Aswaja bukan hanya sebuah pandangan keagamaan, akan tetapi lebih jauh merupakan pandangan hidup (way of life) seorang muslim dalam menyikapi lingkungannya yang majemuk dan dinamis. Aswaja adalah manhajul fikrah wal harakah (landasan pemikirandan gerakan) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik berhubungan dengan agama, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seorang muslim penganut Aswaja mampu hidup dan menyesuaikan diri serta dituntut untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman masyarakat di manapun mereka hidup.
Komentar
Posting Komentar